![]() |
Konferensi pers Wakil Ketua KPK Alexander Marwatadi gedung KPK. |
Jakarta - KPK menetapkan Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan proyek. KPK juga mengungkapkan sistem lelang elektronik di Basarnas telah diakali untuk mengatur pemenang proyek sesuai kesepakatan fee 10 persen untuk Henri.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan Basarnas telah menggunakan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) sejak 2021. Ia mengatakan, LPSE bisa diakses publik.
Pada 2023, Basarnas akan membuka tender proyek pengadaan sejumlah peralatan SAR. Diantaranya, pengadaan alat deteksi korban reruntuhan senilai Rp. 9,9 miliar, pengadaan alat safety diving publik senilai Rp. 17,4 miliar, dan pengadaan remotely operated vehicle (ROV) untuk KN SAR Ganesha senilai Rp. 89,9 miliar.
Alexander mengatakan, akala-akalan lelang elektronik berawal dari pendekatan personal (pribadi-red) Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati, Mulsunadi Gunawan, Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati, Marilya, dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama, Roni Aidil, kepada Henri selaku kepala Basarnas dan Letkol Afri Budi Cahyanto selaku Koorsmin Kabasarnas, yang juga orang kepercayaan Henri.
“Dalam pertemuan itu, diduga terjadi deal (kesepakatan) pemberian sejumlah uang berupa fee sebesar 10 persen dari nilai kontrak. Penentuan besaran fee dimaksud diduga ditentukan langsung HA (Henri Alfiandi),” kata Alexander dalam konferensi pers di gedung KPK, Rabu (26/7/2023).
Alexander mengatakan, Henri diduga menyatakan siap mengatur agar perusahaan Mulsunadi, Marilya, dan Roni memenangkan tender ketiga proyek tersebut. Alexander juga menjelaskan modus operandi yang digunakan agar tender bisa diatur.
Ketiga pengusaha itu disebut telah mendekati pejabat terkait di Basarnas. Setelah itu, mereka diminta memasukkan penawaran yang mendekati Harga Perkiraan Sendiri (HPS) untuk setiap proyek yang tertera di LPSE.
“Mengenai desain dan pola pengondisian pemenang tender di internal Basarnas sebagaimana perintah HA diantaranya sebagai berikut, MG (Mulsunadi Gunawan), MR (Marilya), dan RA (Roni Aidil) melakukan kontak langsung dengan PPK satker terkait. Nilai penawaran yang dimasukkan hampir semuanya mendekati nilai HPS,” katanya.
Alexander mengatakan kasus serupa pernah terjadi di Bakamla. Dia mengatakan, kesepakatan fee telah disepakati dan perusahaan pemberi fee sudah ditunjuk, sehingga proses lelang bisa diatur.
“Proses lelang itu hanya formalitas. Bagaimana bisa terjadi padahal sudah menggunakan e-procurement. Ternyata memang bisa. Sistem apa pun yang dibangun, ketika dilakukan persekongkolan, maka jebol juga sistem itu. Bisa saja, dalam beberapa kasus perusahaan yang ditunjuk atau diepakati nanti memenangi leleng. Dia menggunakan perusahaan pendamping, yang sudah bersekongkol juga atau perusahaan pendamping juga dimiliki oleh orang yang sama yang nanti memenangkan lelang, " dia berkata.
Dia mengatakan proses lelang elektronik diikuti oleh perusahaan-perusahaan yang diatur. Menurut Alexander, dokumen yang masuk ke sistem lelang juga biasanya diunggah melalui komputer yang sama.
“Itu biasanya terungkap didalam audit forensik, digital forensic pasti akan terungkap,” sebutnya.(*)